Photo Source: https://images.detik.com/community/media/visual/2016/07/20/ad58b8e7-3212-4817-a7c9-99fe4956f691.jpg?w=851 |
Masih dengan cerita sepupuku R. Pada tulisan sebelumnya saya menulis tentang R yang tidak ingin pulang sekolah. Nah, kali ini saya mau berbagi cerita tentang R yang selalu menyisakan bekal makan sekolahnya.
R sekolah di salah satu TK di Lombok Barat. Sekolahnya mewajibkan anak didiknya untuk selalu membawa bekal dari rumah. Namun, lebih dari seminggu sekolah R tidak pernah menghabiskan bekalnya.
Akhirnya saya coba untuk mencaritahu penyebabnya, mengapa ia tidak pernah menyentuh makanannya ketika di sekolah. Namun ketika berada dirumah, dia semangat untuk menghabiskan makanannya. Langkah-langkahnya saya jabarkan berikut ini:
1. Bertanya kepada ibunya mengenai kebiasaan makannya dia.
Berdasarkan keterangan dari ibunya, ternyata R ketika makan, masih disuapi. Ini adalah point paling penting dan menjadi akar permasalahannya. Kesimpulan yang saya ambil adalah, jika R masih disuapi oleh orang tua atau significat other nya maka ketika di sekolah ia tidak disuapi oleh siapapun, itu yang membuat dia tidak pernah menyentuh bekalnya.
2. Melaporkan atau mendiskusikan hal tersebut kepada wali kelas.
Karena waktu itu saya tidak sempat bertemu dengan wali kelasnya sendiri, seorang guru lain mencatat nama R dan kelasnya untuk dikomunikasikan dengan wali kelasnya mengenai permasalahan yang saya ceritakan.
3. Ajak Anak Untuk Berbicara.
Menyelesaikan permasalahan anak tentu idealnya kita membuka percakapan dengan si anak. Bagaimana perasaannya, apa yang dialaminya, dan lain-lain. Hak tersebut saya lakukan pada R. Saya memulai percakapan dengan menanyakan apa lauknya hari ini. Obrolan kemudian mengalir dan ada beberapa point yang saya tangkap dari obrolan kami, seperti:
*Dia tidak menghabiskan bekalnya karena tidak bisa menyuapi dirinya sendiri.
*Dia takut ibunya akan marah karena mengetahuinya tidak menghabiskan bekal.
*Dia takut kakak dan asisten ibunya akan melaporkannya karena tidak menghabiskan bekal.
*Dia meminta saya untuk tidak melaporkannya.
Karena saya sudah menemukan akar permasalahan, saya mulai memberikan yaaaa semacam tindakan kasih sayang ke R, seperti:
1. Mengajarinya Untuk Makan Sendiri
Awalnya saya langsung minta dia untuk makan sendiri dan dia bilang tidak mau. Jadinya, saya suapi dia satu kali, saya siapkan nasinya dan meminta dia makan sendiri. Kemudian saya berikan dia contoh cara mengambil nasi dan lauk, yang kemudian dia menginformasikan saya bahwa gurunya juga sudah mengajarinya. Hingga nasinya habis, dia terus nyuapi dirinya sendiri.
Misi satu: bisa makan sendiri, berhasil!
2. Follow Up ke Wali Kelas
Next day ketika saya jemput lagi, saya bertanya ke wali kelasnya apakah dia memakan bekalnya atau tidak. Alhamdulillah wali kelasnya dengan penuh senyuman menjelaskan bahwa dia sudah memakan bekalnya walaupun sedikit.
Misi dua: makan sendiri dikelas, berhasil!
3. Mengajarkan Berbagi atau Makan Bersama
Kalau orang dewasa, atau mungkin saya pribadi, terasa nikmat apabila makan dengan berbagi atau makan bersama teman-teman yang dekat dengan kita. Jadi, saya memintanya untuk makan bersama teman-temannya.
Dia pernah bercerita bahwa temannya membagikan makanan untuk dia dan saya memintanya untuk memberi makanannya yang lebih atau menukarnya dengan temannya apabila temannya memberikannya lagi.
Misi tiga: makan bareng temen + berbagi dengan teman, berhasil!
4. Menu Makan
Sebenarnya ini hal yang paling penting, dan saya tidak terlibat dalam point ini. Saya hanya memperhatikannya. Beberapa waktu yang lalu saya memperhatikan menu makan yang diberikan oleh asisten ibunya berkisar antara nasi telur, mie, nasi abon dan makanan dengan kandungan karbohidrat lainnya.
Secara teknis mungkin R menganggap hal tersebut kurang praktis. Kemudian beberapa hari kemudian menu-menu tersebut diganti dengan kue-kue basah maupun kering. Jadi, R bisa makan makanan dengan praktis.
Berdasarkan point ini saya belajar satu hal bahwa penting bagi kita agar memberikan variasi makanan untuk bekal anak sekolah. Misalnya mengkreasikan makanan dengan bahan seadanya agar tampilannya menarik.
5. Pujian
Pujian juga penting sebagai hadiah untuk anak, biasanya sambil mengelus kepalanya saya memujinya karena berhasil menghabiskan makanannya.
"Wah anak sholehah sudah berhasil ngabisin makanan"
"Duh pintar sekali adeknya kak Lia"
"Sudah solehah, hebat lagi bisa ngabisin makanannya"
Dan masih banyak pujian-pujian lainnya.
Kadang saya memberikannya reward seperti hal yang dia sukai, misalnya pergi ke toko ayahnya atas prestasinya menghabiskan makanan.
Pujian itu perlu untuk anak, sebagai bentuk bahwa dia dihargai atas apa yang sudah dilakukannya dan disayangi.